Hari
ini setelah pulang kerja, saya dan Rani merasa kelaparan. Karena rasa lapar
yang tidak tertahankan, akhirnya kami memutuskan untuk singgah disebuah tempat
makan di pinggir jalan.
Sebenarnya
saya tidak nyaman dengan tempat ini, tempatnya terlalu ramai dan bising. Tapi,
sepertinya rasa lapar kami menghilangkan segala ketidaknyamanan itu. Rani
langsung memesan 1 porsi bebek bakar dan saya memesan 1 porsi bebek goreng.
Tidak sampai 15 menit, makanan langsung diantar ke meja kami. Kami pun segera
makan dengan lahapnya. Disela-sela acara makan malam itu kami pun bercerita
banyak hal. Saya bercerita tentang betapa lugunya saya saat kecil.
Saat
kecil saya terobsesi dengan naga. Setiap ada kucing liar yang ingin saya
pelihara, saya selalu menamainya dengan sebutan Dragon. Sampai suatu hari saya menamai seekor kucing dengan sebutan
Dragonfly. Karena saya kira artinya
Naga Terbang, karena Dragon artinya Naga
dan Fly artinya Terbang. Mendengar
hal itu, Rani pun jadi tertawa terbahak-bahak.
Tiba-tiba
datang seorang anak kecil membawa beberapa lembar puzzle.
“Kak,
permisi kak. Mau beli engga ka ?”
“Ini
saya beli dari toko harganya 8.000, terus saya jual 10.000”
“Ada
yang alphabet, angka, gambar kartun juga ada”
“Ada
yang gambar winnie the pooh ga ?”
tanya Rani.
Anak
itu pun menjawab “yah, engga ada ka. Tadi ketinggalan dirumah”
“yah, engga ada ya...” tanda Rani kecewa.
Lalu,
saya pun penasaran kenapa anak kecil ini masih berjualan malam-malam begini.
Karena penasaran akhirnya saya pun bertanya.
“Kamu
sekolah ga ?”
“Kamu
namanya siapa ?”
“Orang
tua kamu kemana ?”
“Rumah
kamu dimana ? kamu kesini naik apa ?”
Singkat
cerita, namanya Roni. Dia masih sekolah dan sekarang kelas 4 SD. Bapa ibunya seorang
pemulung. Untuk sampai warung tempat kami makan dia berjalan kaki, padahal
jarak dari rumah dia dan tempat itu jauh. Roni berjualan puzzle karena ingin
membeli baju olahraga. Karena kalau dia tidak punya baju olahraga dia tidak
boleh ikut pelajaran olahraga. Entahlah, cerita ini benar atau engga. Dengan
sisa-sisa prasangka baik akhirnya kami pun membeli satu lembar puzzle yang
dijual Roni.
“Makasih
ya Roni, ini udah jam 10 malem. Kamu engga pulang ?” tanya Rani.
“Iya
sama-sama kak, Baru ke jual 1 kak, harga bajunya 50 ribu jadi harus laku empat
lagi” jawab Roni.
Lalu
Roni pun pamit dan bergegas mencari pembeli lain. Ternyata dia tidak memakai
sandal.
_____
Setelah
pertemuan itu. Sepanjang perjalanan pulang saya terus berpikir.
“Roni
bohong atau engga ya ?”
Saya
terus berpikir itu, terus berpikir sampai akhirnya saya yakinkan diri saya
kalau Roni berkata jujur. Namun, kemudian saya merasa kesal. Kesal karena kalau
memang cerita Roni benar.
“kemana
orang tua dia ?”
“kenapa
mereka tega membiarkan anaknya bekerja sampai larut malam begini ?”
“kenapa
masih ada sekolah yang punya peraturan bodoh “dilarang ikut olahraga kalau
tidak punya baju olahraga” ?”
Tapi
kemudian saya kembali berpikir.
“Mungkin
orang tua Roni terpaksa dan engga punya pilihan lain”
Tapi
kemudian saya jadi lebih kesal lagi dari sebelumnya.
“TERPAKSA
? TERPAKSA ? TERPAKSA !!! jadi jika terpaksa orang tua boleh melanggar hak-hak
anaknya sendiri ? hak untuk bermain, belajar, dan mendapatkan kasih sayang ?”
Kata
terpaksa juga membuat janji-janji pada UUD menjadi belum terpenuhi.
Pasal 34 ayat (1) UUD 1945
disebutkan bahwa “fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara”
Terpaksa
belum, karena masih banyak permasalahan yang lebih “penting” dari pada ini.
Benar,
begitu pak ?
Hormat
saya,
Mas
Wahono Hayatudin
No comments :
Post a Comment