Wednesday, November 20, 2013

Rani dan selembar puzzle Roni


Hari ini setelah pulang kerja, saya dan Rani merasa kelaparan. Karena rasa lapar yang tidak tertahankan, akhirnya kami memutuskan untuk singgah disebuah tempat makan di pinggir jalan.


Sebenarnya saya tidak nyaman dengan tempat ini, tempatnya terlalu ramai dan bising. Tapi, sepertinya rasa lapar kami menghilangkan segala ketidaknyamanan itu. Rani langsung memesan 1 porsi bebek bakar dan saya memesan 1 porsi bebek goreng. Tidak sampai 15 menit, makanan langsung diantar ke meja kami. Kami pun segera makan dengan lahapnya. Disela-sela acara makan malam itu kami pun bercerita banyak hal. Saya bercerita tentang betapa lugunya saya saat kecil.

Saat kecil saya terobsesi dengan naga. Setiap ada kucing liar yang ingin saya pelihara, saya selalu menamainya dengan sebutan Dragon. Sampai suatu hari saya menamai seekor kucing dengan sebutan Dragonfly. Karena saya kira artinya Naga Terbang, karena Dragon artinya Naga dan Fly artinya Terbang. Mendengar hal itu, Rani pun jadi tertawa terbahak-bahak.

Tiba-tiba datang seorang anak kecil membawa beberapa lembar puzzle.

“Kak, permisi kak. Mau beli engga ka ?”
“Ini saya beli dari toko harganya 8.000, terus saya jual 10.000”
“Ada yang alphabet, angka, gambar kartun juga ada”

“Ada yang gambar winnie the pooh ga ?” tanya Rani.

Anak itu pun menjawab “yah, engga ada ka. Tadi ketinggalan dirumah”

“yah, engga ada ya...” tanda Rani kecewa.

Lalu, saya pun penasaran kenapa anak kecil ini masih berjualan malam-malam begini. Karena penasaran akhirnya saya pun bertanya.

“Kamu sekolah ga ?”
“Kamu namanya siapa ?”
“Orang tua kamu kemana ?”
“Rumah kamu dimana ? kamu kesini naik apa ?”

Singkat cerita, namanya Roni. Dia masih sekolah dan sekarang kelas 4 SD. Bapa ibunya seorang pemulung. Untuk sampai warung tempat kami makan dia berjalan kaki, padahal jarak dari rumah dia dan tempat itu jauh. Roni berjualan puzzle karena ingin membeli baju olahraga. Karena kalau dia tidak punya baju olahraga dia tidak boleh ikut pelajaran olahraga. Entahlah, cerita ini benar atau engga. Dengan sisa-sisa prasangka baik akhirnya kami pun membeli satu lembar puzzle yang dijual Roni.

“Makasih ya Roni, ini udah jam 10 malem. Kamu engga pulang ?” tanya Rani.
“Iya sama-sama kak, Baru ke jual 1 kak, harga bajunya 50 ribu jadi harus laku empat lagi” jawab Roni.

Lalu Roni pun pamit dan bergegas mencari pembeli lain. Ternyata dia tidak memakai sandal.

_____

Setelah pertemuan itu. Sepanjang perjalanan pulang saya terus berpikir.

“Roni bohong atau engga ya ?”

Saya terus berpikir itu, terus berpikir sampai akhirnya saya yakinkan diri saya kalau Roni berkata jujur. Namun, kemudian saya merasa kesal. Kesal karena kalau memang cerita Roni benar.

“kemana orang tua dia ?”
“kenapa mereka tega membiarkan anaknya bekerja sampai larut malam begini ?”
“kenapa masih ada sekolah yang punya peraturan bodoh “dilarang ikut olahraga kalau tidak punya baju olahraga” ?”

Tapi kemudian saya kembali berpikir.

“Mungkin orang tua Roni terpaksa dan engga punya pilihan lain”

Tapi kemudian saya jadi lebih kesal lagi dari sebelumnya.

“TERPAKSA ? TERPAKSA ? TERPAKSA !!! jadi jika terpaksa orang tua boleh melanggar hak-hak anaknya sendiri ? hak untuk bermain, belajar, dan mendapatkan kasih sayang ?”

Kata terpaksa juga membuat janji-janji pada UUD menjadi belum terpenuhi.

Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 disebutkan bahwa “fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara”

Terpaksa belum, karena masih banyak permasalahan yang lebih “penting” dari pada ini.
Benar, begitu pak ?

Hormat saya,

Mas Wahono Hayatudin

No comments :

Post a Comment