Sore itu jadi salah satu sore paling membosankan yang pernah ada. Engga ada lagi buku untuk di baca. Engga ada lagi games yang bisa di mainin. Engga ada juga seseorang yang bisa diajak smsan atau sekedar tatap muka lewat skype. Tapi, yang lebih parah lagi engga ada yang ngajak keluar. Ditambah lagi jarum penunjuk bensin mengarah ke daerah merah bertuliskan huruf “E”.
Komponen
yang sempurna untuk membuat hari jadi benar-benar membosankan.
Dengan
segala kebosanan itu, gue perlahan beranjak pergi dari ranjang. Pergi
kebelakang rumah lalu memanjat pagar. Dari atas pagar terlihat seorang pemuda
dekil sedang memegang benang, tarik ulur, tarik ulur, lalu terbang. Bukan orangnya yang terbang,
tapi layangan. Beberapa menit kemudian layangan lain mulai muncul dari arah
seberang. Mereka saling berdekatan, menabrak satu sama lain, bergesekkan.
Mungkin ingin saling kenal. Mereka terus beradu. Sampai akhirnya salah satu
layangan putus. Kami sering menyebutnya “lewang”.
“Yes,
MA*PUS !!!. Gue menang” kata pemuda dekil.
Tidak
jauh dari pemuda dekil, ada bocah ingusan yang mencoba menerbangkan
layangannya. Satu dua kali di coba, gagal. Di coba lagi akhirnya terbang juga. Belum sampai 10
menit terbang kelangit, layangannya menukik tajam dan jatuh ke pelukkan monyet.
Monyet peliharaan kami, Santika namanya.
“Bang,
liat layangan gue engga ?” tanya bocah ingusan.
“Tuh,
dipegang monyet. Lagi di koyak-koyak kayanya” jawab pemuda diatas pagar yang kebetulan
juga menulis cerita ini.
Anak
itu menundukkan kepalanya, dia lesu, dia berbalik arah, lalu pulang sambil menggulung benangnya.
Yah, nak. Hidup memang tidak selalu
indah.
Langit
sudah mulai orange, lampu satu persatu mulai menyala, ketek pun sudah mulai bau.
Pertanda kalau gue harus mandi.
Nak, terima kasih karena telah memberi
sedikit tawa.
Enyah
saja kau pekat
Seperti
berjelaga jika ku sendiri
*Berkata seperti itu sambil mengibaskan rambut
*Berkata seperti itu sambil mengibaskan rambut
Juno
No comments :
Post a Comment