Thursday, March 20, 2014

Belajar dari "WhatsApp" part 1


Gue selalu senang menceritakan segala hal yang sederhana. Karena gue percaya hal luar biasa bermula dari sebuah kesederhanaan. Coba lihat bagaimana WhatsApp berkembang. Aplikasi pesan singkat tanpa iklan, tanpa stiker, dan tanpa game. Pure, instant messaging. Sederhana tapi menghasilkan jutaan dollar.

Sekarang, gue mau bercerita bagaimana kesederhanaan ini di bangun.

Jan Koum ( Pendiri WhatsApp) awalnya tinggal di Kiev, Ukraina. Hingga akhirnya pada tahun 1992 Koum bersama ibunya bermigrasi ke Mountain View, Amerika Serikat. Saat itu Koum masih berumur 16 tahun.

Di Amerika, mereka tinggal di sebuah apartemen kecil dengan dua kamar, hasil bantuan pemerintah. Keadaan mereka saat itu masih sulit. Mereka bahkan harus bergantung pada bantuan sosial pemerintah dan kupon makan gratis. Koum pun bekerja sebagai tukang sapu di sebuah toko sedangkan ibunya menjadi baby sitter.

Saat itu ayah Koum tidak ikut bermigrasi. Dia lebih memilih untuk bekerja dan tinggal di Kiev. Jarak antara Kiev dan Mountain View yang cukup jauh membuat Koum dan Ayahnya jarang berkomunikasi. Dia pun tidak bisa sering-sering menghubungi ayahnya, karena saat itu biaya telpon masih mahal.

“Andai saja ketika itu saya sudah bisa berkirim pesan instan ke ayah…” begitulah kata Koum dalam sebuah wawancara.

Kesulitan Koum tidak hanya itu. Saat berada di Kiev, Koum bersekolah di sekolah yang sangat memprihatinkan. Sangat memprihatikan sampai sekolah itu tidak punya kamar mandi.

Saat pindah ke Amerika, keadaannya pun tak kalah sulit. Keluarga koum adalah satu-satunya di kelas yang tidak memiliki mobil. Jadi, dia harus bangun lebih pagi dan mengejar bus untuk berangkat ke sekolah. Bahkan untuk menghemat biaya sekolah, ibu Koum sengaja menjejali kopernya dengan pulpen dan buku tulis dari negara asalnya.

Saat itu Koum tidak lancar berbahasa inggris. Keadaan itulah yang membuat Koum jadi sering di ganggu oleh teman-temannya. Dengan kata lain, sering di bully.

Saat masuk kuliah, Koum memilih mempelajari ilmu komputer dan matematika. Tapi, karena prestasinya yang buruk ditambah lagi dengan rasa bosan. Maka, dia memutuskan untuk dropout. Setelah itu dia sering berganti – ganti pekerjaan. Mulai dari pembungkus barang di supermarket, bekerja di toko elektronik, internet provider, bahkan perusahaan audit. Hingga akhirnya, pada tahun 1997 dia bertemu Brian Acton dari Yahoo.

Pertemuan inilah yang akan membawanya ke masa depan yang mungkin engga pernah dia bayangkan….

Bersambung ke part 2

Salam

Juno

2 comments :

  1. kalo gue ketemu lu, gue akan jd apa jon? :v

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hah, ketemu siapa ?

      Btw, selamat ya. Buat kemenangan nya di shell eco-marathon. Keren (Y)

      Delete